TRIBUNNEWS.COM – Website Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan peningkatan angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia.
Data menunjukkan, pada tahun 2017, pemberian ASI eksklusif di Indonesia tercatat sebesar 52 persen, kemudian meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2023.
WHO menargetkan 50 persen pemberian ASI eksklusif di seluruh dunia.
Meskipun angka pemberian ASI tinggi, sayangnya Indonesia juga mempunyai angka pemberian ASI yang tinggi.
Pada tahun 2024, prevalensi stunting mencapai 21,6 persen, masih jauh dari target pemerintah sebesar 14 persen.
Indonesia merupakan negara terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste.
Padahal, pemberian ASI eksklusif seharusnya mengurangi risiko keguguran.
Setelah enam bulan, bayi harus mendapat MPASI
Kata dokter. Jan Suryadi Suteha, M. Kedokteran Sc, Sp. “Jika ditemukan kenaikan berat badan yang signifikan, sebaiknya segera ditangani untuk mencegah malnutrisi dan stunting,” ujarnya.
“Masyarakat juga harus diberitahu tentang cara dan pedoman pemberian makan dan minum yang tepat sesuai dengan usia bayi dan anak, karena setelah enam bulan, bayi harus menerima MPASI dan bukan hanya ASI tanpa nutrisi yang cukup,” tambahnya.
Yen juga mengingatkan bayi dan anak pentingnya mendapatkan pola makan yang lengkap dan seimbang, sesuai dengan usia dan kebutuhan kalori hariannya.
“Jika mengalami gizi buruk, kurang gizi atau keadaan pingsan, maka terapi yang tepat untuk bayi dan anak adalah pemberian nutrisi khusus berupa PKMK (makanan olahan untuk kebutuhan medis khusus), salah satunya dengan komposisi khusus berupa susu. “Nutrisi khusus ini mengurangi kebutuhan kalori harian pasien pingsan. Harus terpenuhi minimal 30 persen,” jelas dokter melalui akun Instagram @iansuteja. Jangan bingung antara susu bubuk dengan rokok
Prof Triya Astika Endah P, Guru Besar Ilmu Gizi dan Kesehatan Universitas Jakarta (UMJ), mengatakan pembatasan promosi dan sosialisasi susu formula sebaiknya diperhatikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
“Larangan yang berlebihan sama dengan dampak buruk susu terhadap bayi. Itu adalah kesalahan besar,” ujarnya.
Tria juga menemukan bahwa semakin banyaknya susu formula yang dilarang, susu dibandingkan dengan tembakau, yang juga dibatasi untuk iklan.
“Sebenarnya keduanya memiliki efek yang berbeda. Jangan mencampur susu dengan rokok.”
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Peter Abdullah Redjalam mengingatkan, aturan tersebut diambil dari PP no. 28 Tahun 2024 sebenarnya tidak boleh mengubah ketentuan yang ada yaitu PP No. pembatasan kegiatan periklanan susu formula berdasarkan 28/2024. 1999.
“RP sebelumnya (PP 6969 Tahun 1999) mengatur secara ketat mengenai iklan makanan yang diperuntukkan bagi bayi usia 0-12 bulan, dimana industrinya patuh pada aturan karena dikontrol dengan ketat,” kata Peter.
Peter menambahkan, yang terpenting adalah edukasi gizi yang dibagikan kepada pemangku kepentingan.
Selain itu, angka prevalensi terkini menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan.
“Mengingat kebutuhan untuk mempercepat penurunan angka menyusui dan menyusui, maka perlu diciptakan lingkungan pemberian ASI eksklusif di kantor dan tempat umum, seperti ruang laktasi, serta meningkatkan akses informasi mengenai ASI yang sehat dan pilihan nutrisi bagi anak,” Petrus menjelaskan. (*)