TRIBUNNEWS.COM – Mantan Gubernur Purwakarta Dedi Mulyadi menegaskan, tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina tidak akan meminta apa pun kepada negara jika dibebaskan melalui Judicial Review (JRC).
Hal itu diungkapkan Dedi setelah pada Rabu (10/7/2024) ia dan tim polisi yang terdiri dari tujuh narapidana melaporkan saksi Aep dan Dede ke Bareskrim Polri karena diduga memberikan kesaksian palsu dalam kasus Vin.
Dedi awalnya menyatakan keyakinannya bahwa ketujuh terpidana tidak bersalah karena menurutnya banyak kesalahan data persidangan kasus ini.
Ia menegaskan, negara tidak boleh menghukum orang yang tidak terbukti bersalah.
“Seluruh kasus ini harus diperbaiki. Saya ulangi, saya yakin mereka tidak bersalah. Mengapa saya maju ke depan? Karena saya ingin membela mereka yang tidak bersalah, untuk membuka jalan bagi mereka menuju kebebasan.”
“Dan negara ini tidak bisa menghukum orang yang tidak bersalah,” katanya kepada unit investigasi kepolisian di Jakarta.
Lalu, saat ini Dedi mengatakan jika ketujuh terpidana tersebut dibebaskan dan dibebaskan melalui usulan PK, maka pihak keluarga tidak akan meminta ganti rugi kepada pemerintah.
Ia mengungkapkan, barang tersebut dibawa oleh keluarga ketujuh narapidana tersebut.
“Saya bicara dengan keluarganya bahwa itu salah pendapat kami atau pembatalan sidang ini. Ujung-ujungnya kalau PK dibebaskan, mereka bilang tidak akan menuntut negara apa pun. Dia hanya ingin keluarganya bebas, ” kata Dedi.
6 terpidana mengajukan PK
Sebelumnya, kuasa hukum enam terpidana kasus Vina menyatakan akan mengajukan PK.
Yang mengajukan PK adalah mantan narapidana Saka Tatal.
Hal itu dibenarkan pengacara Saka Tatala, Titin Prialianti.
Benar, PK terdaftar di Pengadilan Negeri Cirebon, kata Titin saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Senin (8/7/2024).
Saat ditanya isi usulan PK tersebut, Titin enggan membeberkannya karena ada bukti baru atau baru.
Ia mengungkapkan, seluruh bukti yang diajukan pihaknya di PN Cirebon bisa didengarkan pada sidang PK mendatang.
“Iya tidak bisa. PK minor sudah masuk pokok perkara, kita baca di persidangan inovasi apa yang kita punya. Apa keberatannya dengan keputusan sebelumnya,” ujarnya.
Kendati demikian, Titin menegaskan esensi permohonan PK terkait dengan dugaan kesalahan hakim dalam memutus putusan terhadap Saka Tatal mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA).
Intinya, salah satu tuduhannya adalah Panitia Kehakiman melakukan kesalahan dalam memutus perkara baik di tingkat Pengadilan Negeri, PT, maupun Bendahara, ujarnya.
Lebih lanjut, kuasa hukum kelima terpidana, Otto Hasibuan, juga berencana mengajukan PK dengan alat bukti baru atau baru, yakni keputusan membebaskan Pegi Setiawan dari tersangka kasus Vina.
Otto merupakan kuasa hukum Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Eka Sandi, Jaya dan Supriyanto.
Selain itu, pencopotan dua DPO lagi yakni Andi dan Dani juga akan ia jadikan sebagai hal baru dalam permohonan PK.
Menurut dia, dua alat bukti tersebut bisa diberikan dalam usulan PK.
“Karena kedua (DPO) ini dinyatakan fiktif, maka cukup alasan untuk mengatakan bahwa dakwaan jaksa dan keputusan hakim bahwa mereka (lima terpidana) bersalah adalah tidak mungkin,” ujarnya dalam acara Sapa Indonesia Malam di YouTube Televisi. Kompas, Selasa (7/9/2024).
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait meninggalnya Vina Cirebon