Laporan reporter Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Staf Pembelian Peralatan Kantor PT Fortuna Tunas Mulia, Peter Cianata mengaku diperintah oleh Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta untuk mencari pengepul bijih timah.
Hal itu diungkapkan Peter saat menjadi saksi dalam sidang korupsi pengelolaan timah bersama terdakwa Harvey Moes, Direktur PT RBT Suparta, dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Ardiansyah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/9/2024). ).
Awalnya, Ketua Hakim Eko Arianto menanyakan alasan Peter bisa diperiksa penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus yang melibatkan Harvey Moeis Cs.
“Kapan penyidik bertanya kepada saksi soal apa?” – tanya hakim.
Kasus PT Timah, kata Peter.
– Kamu tahu? – tanya hakim.
“Untuk kesulitan membeli kalengnya,” jawab Peter.
Setelah itu, Hakim mendalami karya Peter Sianata.
Saat disinggung pertanyaan tersebut, Peter mengaku bekerja sebagai bagian pembelian, penjualan peralatan kantor di PT Fortuna Tunas Mulia.
Namun dalam persidangan, Peter mengaku terdaftar sebagai pembeli bijih timah.
– Apakah kamu benar-benar membelinya? – tanya hakim.
“Ya,” kata Petrus.
– Atas nama siapa kamu membeli timah? – tanya hakim.
“Di PT Timah itu atas nama saya,” kata Peter.
Kemudian hakim dikejutkan dengan hubungan antara pekerjaan Peter, seorang staf yang membeli dan menjual peralatan kantor, dengan pembelian bijih timah.
Kemudian Peter bercerita, saat itu dia membeli bijih timah atas pesanan Direktur Utama PT RBT Suparta.
“Jadi dulu saya kerja beli peralatan kantor. Saya hanya mendapat pesanan dari Pak Suparta,” kata Peter.
“Apakah anda mendapat perintah dari Pak Suparta? Dimana Pak Suparta menjadi CEO?” – tanya hakim.
“Kepada Rebt, Yang Mulia,” kata Peter.
“Coba jelaskan, bapak di bagian pembelian PT Fortuna perusahaan pertambangan, sedang menerima pesanan dari Pak Suparta, Direktur Utama PT RBT, mohon penjelasannya?” kata hakim.
Ditanya hakim, Peter akhirnya mengatakan bahwa selama ini PT FTM merupakan perusahaan di bawah PT RBT.
Sebab, dalam praktik penambangan, PT FTM, kata Peter, perusahaannya beroperasi di wilayah izin perusahaan pertambangan (IUP) PT RBT.
“FTM dibawah PT RBT?” – tanya hakim.
“Ya, untuk Yup,” kata Peter.
“Begitulah caramu disuruh membeli timah, kan?” – tanya hakim.
“Ya,” kata Petrus.
“Tahun berapa dibelinya?” – tanya hakim
“Akhir 2018,” jawab Peter.
Maka kata Peter, sebelum membeli bijih, carilah dulu pengepul yang mengoleksi bijih timah.
Peter pun mengaku sedang mencari pengumpul bijih timah hingga harus singgah di sebuah kafe.
Menurutnya, kafe tersebut merupakan tempat bertemunya para kolektor dan penambang.
“Ini laporan pengumpulan sampah olahan, jadi ada surat pernyataan, tanda tangan di sini ya, surat pernyataan ‘benar saya ekstrak bijih timah di PT Timah TC’, ya?” – tanya hakim.
“Ya,” kata Petrus.
“Jadi PT Timah Tbk punya IUP?” – tanya hakim.
“Yang ini dari PT Timah karena dia suruh saya cari kolektifnya. Di udara semua kolektif PT Timah kebanyakan di ngopi,” kata Peter.
“Oh, untuk kopinya, untuk apa?” – tanya hakim yang heran.
“Biasanya tempat nongkrong para kolektor dan penambang,” jawab Peter.
Setelah menemukan kolektornya, Peter mengatakan akan meminta uang kepada Suparta untuk membeli bijih tersebut.
Saat itu, Suparta menyebut Peter total menghabiskan uang pribadinya sebesar Rp5 miliar untuk membeli bijih timah.
“Awalnya saya cari dulu, kebetulan mereka harus membayar ke penagihnya dulu, jadi mau tidak mau saya tanya ke Pak Suparta, Pak Suparta menyuruh saya ke kantor untuk mengambil uang,” kata Peter. .
– Berapa kali kamu menerimanya? – tanya hakim.
“Kalau lupa berapa kali, sekitar Rp 1 miliar, totalnya Rp 5 miliar,” kata Peter.
“Tapi bagaimana dengan waktu?” – tanya hakim.
– September, Oktober, November, Desember, kata Peter.
Sekadar informasi, Harvey Moeis dalam kasus ini umumnya dituduh mengkoordinasikan dana pengamanan penambangan timah ilegal.
Atas perbuatannya, ia dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang dugaan korupsi.
Selain itu, ia juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan proses tindak pidana korupsi, yakni pasal 3 dan pasal 4 undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana pencucian uang juncto pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.
Terkait kasus tersebut, berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp300 triliun.
Perhitungan tersebut berdasarkan laporan pemeriksaan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus timah yang tercantum dalam nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa antara lain kerugian kerja sama penyewaan peralatan dan pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkap kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan mencapai Rp 271 triliun. Hal ini dihitung oleh para ahli lingkungan.