TRIBUNNEWS.COM – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membebaskan Gregorius Ronald Tannur pada Rabu (24/7/2024) atas tuduhan pembunuhan dan penghinaan terhadap pacarnya Dini Sera Afriyanti.
Bebasnya anak anggota DPR dari dakwaan tersebut menarik perhatian berbagai pihak, baik pengamat politik maupun hukum.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pun menanggapi bebasnya Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini.
Dengan bebasnya Ronald, Sahroni pun mempertanyakan hukum di Indonesia.
Ia tidak setuju dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
“Hakim ini sakit. Mungkin dia tidak punya anak, dia tidak punya anak perempuan, dengar bagaimana perempuan ini diperlakukan tidak pantas,” kata Sahroni di Kantor DPP Partai NasDem di Jakarta, Kamis (25/7). /2019 ). 2024), dilansir Wartakotalive.com.
Menurut Sahroni, pembebasan tersebut merupakan keputusan yang memalukan bagi hakim pengadilan.
Ia mengaku terkejut dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya.
“Polisi memberikan barang mencurigakan dan kemarin pengadilan negeri tiba-tiba memberikan keputusan mutlak. Ini memalukan,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyatakan kasus Ronald Tannur jelas merupakan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya seseorang.
“Yang jelas terjadi tindak pidana pada tahun 2023 dengan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya seorang perempuan, berakibat fatal,” kata Sahroni.
DPR III. Hal serupa juga diungkapkan Anggota Komisi III Hinca Pandjaitan mengomentari putusan pengadilan terkait kasus yang menimpa anak DPR.
Hinca meminta Komisi Yudisial (KY) mengkaji ulang proses pengambilan keputusan majelis hakim dalam kasus tersebut.
“Di tengah reaksi masyarakat yang kritis dan kekecewaan yang meluas terhadap putusan pengadilan ini, saya meminta KY tidak hanya mencermati, tetapi juga benar-benar mencermati proses pengambilan keputusan majelis hakim dalam kasus Gregorius Ronald Tannur,” Hinca kata Kompas. . com, Kamis (25/7/2024).
Ia juga menanyakan apakah hukum di Indonesia merupakan pelanggaran keadilan atau ada kepentingan yang dilayani.
“Pertanyaannya bukan hanya apakah hukum dipatuhi, tapi apakah keadilan dilanggar, apakah prosesnya dimanipulasi atau kepentingannya dilayani,” katanya.
Menurutnya, penyidikan harus dilakukan kembali untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Hinca mengatakan: “Dalam konteks kasus ini, seseorang yang melakukan kekerasan yang dapat mengakibatkan kematian harus dilakukan evaluasi dengan sengaja, apapun status sosial pelakunya.”
Hinca menjelaskan, keputusan hakim yang tidak memperhitungkan bukti-bukti dan tidak menimbulkan kontroversi publik, membahayakan hukum Indonesia.
“Ketika pengadilan membebaskan tanpa mempertimbangkan prinsip ini, kita menghadapi potensi preseden hukum yang berbahaya dimana penafsiran hukum yang sempit dapat mengesampingkan keadilan substantif,” katanya.
Diketahui, Ronald Tannur dibebaskan dari hukuman penjara selama 12 tahun dan membayar santunan sebesar Rp 263 juta 673 ribu kepada ahli waris Dini.
Hakim punya dua pertimbangan sebelum memutuskan membebaskan Ronald.
Hal itu diungkapkan Putu Arya Wibisana, Kepala Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya.
Pertama, tidak ada saksi yang menyebutkan penyebab kematian korban.
Kedua, penyebab kematian korban diduga karena minuman keras.
“Tadi dalam penilaian majelis hakim PN Surabaya disebutkan tidak ada saksi yang dapat menyebutkan penyebab meninggalnya korban,” kata Putu kepada wartawan, Kamis (25/7/2024). wartakotalive.com.
Kedua, penilaian hakim, korban meninggal karena kandungan alkohol di perutnya, tutupnya.
Sebagian artikel ini tayang di WartaKotalive.com Sindiran Dahsyat Ahmad Sahroni Soal Pembebasan Ronald Tannur: Hakim Ini Sakit! Itu diterbitkan dengan judul
(mg/Pradita Aprilia Eka Rahmawati)
Penulis magang di Universitas Sebelas Maret (UNS).