TRIBUNNEWS.COM – Cabang militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menghadapi krisis pasca perang di Gaza melawan militan Palestina.
Channel 12 Israel melaporkan bahwa tentara baru-baru ini mengetahui adanya krisis di kalangan pasukan komando.
Krisis ini menyebabkan pengunduran diri banyak perwira IDF.
Perwira IDF berpangkat kapten dan mayor.
Ini sudah menjadi tren nyata.
Sejak dimulainya perang tahun lalu, sekitar 900 petugas telah meninggalkan pos mereka karena tidak ingin lagi berperang di Gaza.
Pejabat IDF meminta peninjauan kembali pemberian kontrak mereka.
Krisis ini muncul sebagai penyumbang besar terjadinya peristiwa 7 Oktober 2023, setelah Hamas menyerang Israel.
Petugas IDF mengatakan mereka merasa tidak mampu dan tidak sah di mata masyarakat Israel dan beberapa politisi Zionis. Ketika pasukan Israel habis, orang-orang ultra-Ortodoks akan diikutsertakan dalam perang Gaza.
Selain mengurangi jumlah tentara, Israel kini merekrut pria Yahudi ultra-Ortodoks untuk bergabung dengan tentara.
Hal ini diketahui publik setelah pengadilan memutuskan dinas militer ultra-ortodoks.
Keputusan ini mendapat perhatian dari pihak oposisi Israel.
Oposisi Israel menyambut baik keputusan Mahkamah Agung Israel (MA) yang menyatakan bahwa laki-laki ultra-Ortodoks harus direkrut menjadi tentara.
Ketua Partai Buruh Israel Yair Golan memuji keputusan tersebut dan menyebutnya sebagai langkah yang adil.
Minta pertanggungjawaban semua warga Israel, berdasarkan Al Jazeera.
“Kewajiban militer dan pegawai negeri harus berlaku untuk semua warga Israel, tanpa memandang ras, agama atau jenis kelamin,” kata Golan.
Avigdor Lieberman dari partai sayap kanan Yisrael Beiteinu mengatakan sudah waktunya melakukan perubahan “bersejarah” untuk memasok tenaga kerja yang dibutuhkan tentara dalam perang Gaza.
Perdebatan yang dilaporkan mengenai status militer warga ultra-Ortodoks telah menciptakan perpecahan tajam dalam masyarakat dan politik Israel.
Banyak yang percaya bahwa kelompok ultra-Ortodoks mempunyai hak istimewa.
Mereka umumnya dibebaskan dari tugas militer dan upaya mereka belum terlihat ketika lebih dari 300.000 tentara cadangan Israel telah dipanggil. 3.860 IDF Terluka, 662 Tewas, Komandan Brigade Nahal Akui Melawan Hamas di Rafah Tidak Mudah
Jumlah tentara Israel yang tewas dan terluka di Jalur Gaza Palestina terus meningkat.
Berdasarkan laporan IDF, 12 tentara Israel terluka dalam 24 jam terakhir pada Rabu (19/6/2024). Jumlah tersebut termasuk lima anggota IDF yang terluka dalam pertempuran darat di Jalur Gaza.
“Jumlah tentara dan perwira yang terluka meningkat menjadi 3.860 orang sejak perang di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023,” kata laporan IDF.
Dari jumlah tersebut, 1.947 orang terluka dalam bentrokan darat di Wilayah Palestina.
Jumlah tentara dan perwira Israel yang tewas di Gaza sejak 7 Oktober telah diperbarui menjadi 662 orang, termasuk 311 orang sejak pertempuran darat dimulai pada 27 Oktober, kata militer Israel, mengutip Palestine Chronicle.
Diketahui, jumlah korban luka dan tewas bertambah karena kondisi pertempuran dengan Hamas dan kondisi medan pertempuran yang tidak mudah.
Yair Zuckerman, komandan Brigade Nahal, menggambarkan kondisi sulit di Rafah, Gaza selatan.
Zuckerman menggambarkan kondisi sulit di Rafah, Gaza selatan.
Menurut Zuckerman, Hamas telah menggunakan banyak cara untuk melawan angkatan bersenjata Israel.
Tangga tersebut menciptakan labirin besar, termasuk terowongan dan area penghubung dengan pintu masuk melalui dinding.
Dikutip dari Palestine Chronicle, Zuckerman menyoroti lambatnya kemajuan Pasukan Pertahanan Israel melawan Hamas di Rafah.
Diakuinya perjuangan itu melelahkan.
Ia juga menjelaskan bahwa Hamas menggunakan berbagai kamera di Rafah untuk memantau pertempuran di atas dan di bawah tanah. Selain itu, tantangan lainnya adalah Hamas menjadikan rumah dan ruangan sebagai jebakan.
Berkaca pada kejadian baru-baru ini yang menewaskan empat tentara Israel dalam ledakan di sebuah rumah yang tampaknya kosong.
Tentara Israel telah melancarkan serangan darat di Rafah sejak 6 Mei, menyebabkan lebih dari satu juta warga Palestina mengungsi karena kondisi kemanusiaan yang mengerikan.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)