6 Puisi Tema Kemerdekaan untuk Lomba 17 Agustus, Cocok untuk Dibaca di Malam Tirakatan

TRIBUNNEWS.COM – Hari Kemerdekaan Indonesia diperingati setiap tanggal 17 Agustus.

Indonesia berusia 79 tahun pada tahun ini.

Momen bersejarah ini dirayakan meriah dengan berbagai kompetisi.

Salah satu lomba yang dapat membangkitkan semangat dan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan adalah lomba baca puisi.

Di bawah ini 6 puisi karya sastrawan Indonesia yang bertemakan kemerdekaan.

1.WS. Penghasilan – Partisan

Tubuh biru Menatap mata biru Seorang lelaki berguling-guling di jalan Angin menggantung Rasa pahit tembakau Mangsa keluh kesah dan malapetaka

Tubuh biru, mata biru, seorang lelaki berguling-guling di jalan, dengan tujuh lubang peluru, mengetuk pintu surga, dan matahari muda bersinar

Singkirkan masalahmu Gadis itu berjalan di fajar merah dengan sayuran di punggungnya Melihatnya untuk pertama kali Dia meninggalkan tangisan manis Dan kesedihan dari daun wortel

Badan biru, mata biru, laki-laki berguling-guling di jalan, warga kota mengenalnya, anak janda berambut bergelombang, ember air diambil.

Seharusnya ada air di tubuhnya Biru Tubuh biru Penampilan bermata biru Seorang pria berguling-guling di jalan Dengan berani melintasi gardu induk Belanda Menutupi dirinya dalam warna malam Matahari memasuki kota Ingin ikut pemakaman ibunya

2. Sapardi Joko Damono – Hari Kemerdekaan

Akhirnya aku tak kuasa menahannya. Tuang ke mataku, ke mata teman-temanku Ke hati semua orang. Bendera dan bendera

Bendera nasionalku Menyerah pada kebanggaan yang lembut Aku berpegang teguh pada satu hal dan aku mengetahuinya Tanah aku berdiri di celah-celah Awan menyebar dan saling berkejaran Angin menghilangkan hangatnya tanah air Kepahitan yang berulang kali menusuk

Aku meredup Mencapai puncak hingga semburan bunga api Semburan kegembiraan hidup Menjelang fajar aku sendiri Jauh dari luapan kegembiraan di lembah Menatap tepian laut

Tapi aku punya apa yang paling berharga. Dalam kegelapan aku melihat wajah umatku, Cerah dan bersinar, dan fajar mulai memerah.

3. Chairil Anwar – Kesepakatan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno, berjanjilah padaku. Aku telah mendengarmu berbicara cukup lama, dimasak oleh apimu, diasinkan oleh lautmu. Sejak saat pertama, pada tanggal 17 Agustus 1945, saya melangkah maju untuk berada di dekat Anda. Sekarang akulah apinya, sekarang akulah lautnya.

Bung Karno! Kau dan aku adalah satu substansi, satu urat nadi Dalam substansimu dalam substansiku kapal kita berlayar Melalui nadimu di pembuluh darahku kapal kita berlayar Melalui pembuluh darahmu di pembuluh darahku kapal kita berlayar dan meleleh

Ini telah terjadi sebelumnya. Jangan tanya kenapa aku tidak tahu tanggal dan alasannya lagi.

Dan jangan tanya siapa yang akan melakukan putt pada hole terakhir Dan jangan tanya siapa yang akan melakukan putt pada hole terakhir

Mereka yang akan menerima warisan: Kedamaian di antara reruntuhan menara sudah lama sekali, dahulu kala adalah jari dari tembakan senapan.

4. Gioco Pinurbo – Ziarah Udine

Kebebasan, Udin, adalah harta cinta yang harus kautebus dengan kematianmu. Kemerdekaan adalah rubrik kerinduan yang mewartakan kabar baikmu. Kemandirian adalah kami yang ada disekitarmu untuk menatap matamu yang jernih dan berani.

Biarlah kematian tidak memisahkanmu dari kami, para utusan yang menerangi firman di gang-gang yang tidak terjangkau cahaya, membukakan pintu yang tertutup oleh kezaliman, oleh gemetar dan ketakutan kami.

Teruslah menulis ya Udin, tulislah di kolom sunyi di lubuk hati dan hari-hari kita. Menulislah di tengah keletihan dan kesedihan kita.

Kematian tidak menjauhkanmu dari kami, karena tinta yang menodai tangan kami tetap membakar merahmu, darahmu tetap berbau.

5. Wiji Tukul – Sukmaku Merdeka

Terlepas dari Kementerian Tenaga Kerja, semakin nyata bahwa tidak ada seorang pun yang mengubah nasib saya.

Sakit entahlah aku tak mengutuki kandungan ibuku lagi karena pasti malam tak akan berubah menjadi pagi hanya dengan kutukan

Masa yang penuh keluh kesah akan diisi dengan keluh kesah. Waktu kerja yang penuh keringat akan melahirkan prajurit-prajurit kebijaksanaan.

Ini bukan apa-apa. Jangan mati sebelum aku mengucapkan selamat malam.

MANDIRI! 

6. Taufiq Ismail – Kami adalah pemilik sah republik ini 

Tidak ada pilihan lain karena berhenti atau kembali berarti hancur

Kami akan menjual keyakinan kami pada pengabdian tanpa harga

Akankah kita duduk satu meja dengan para pembunuh di masa lalu? Di setiap kalimat yang berakhiran

“Apakah Anda keberatan, Tuan?”

Karena tidak punya pilihan, orang-orang dengan mata muram itu mengangkat tangan ke arah halte bus.

Kita adalah puluhan juta orang yang telah hidup dalam kesengsaraan selama bertahun-tahun, dihancurkan oleh banjir, gunung berapi, kutukan dan wabah penyakit, dan kita bertanya pada diri sendiri apakah ini yang disebut kebebasan?

Kitalah yang tidak peduli dengan ribuan slogan dan ribuan silent speaker

Tidak ada pilihan lain.

(mg/Septiana Ayu Prasiska)

Penulis adalah seorang sarjana di Universitas Sebelas Maret (UNS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *