TRIBUNNEWS.COM – Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB di Timur (UNRWA) mengumumkan pada Sabtu (22 Juni 2024) bahwa lebih dari 50.000 anak di Gaza menderita kekurangan gizi parah akibat terus dipotongnya bantuan kemanusiaan.
Masyarakat menghadapi kelaparan parah karena terbatasnya akses terhadap bantuan, kata badan tersebut dalam sebuah postingan di X.
Dalam artikel lainnya, UNRWA juga menyinggung kondisi buruk di rumah sakit di Gaza.
UNRWA juga mencatat kekurangan pasokan medis dan bahan bakar, sehingga memperburuk krisis kesehatan.
Baru-baru ini, kantor media pemerintah Gaza melaporkan bahwa 15.694 anak secara tragis kehilangan nyawa sejak agresi Israel.
Selain itu, setidaknya 34.000 anak terluka akibat perang.
Al Mayadeen mengutip UNRWA yang mengatakan: “3.600 anak masih hilang di bawah reruntuhan setelah serangan itu.”
UNRWA mengkonfirmasi bahwa setidaknya 200 anak saat ini ditahan oleh pasukan pendudukan di Gaza.
Awal pekan ini, UNICEF menyatakan keprihatinan mendalam terhadap lebih dari 3.000 anak-anak yang kekurangan gizi di Gaza.
UNICEF telah memperingatkan risiko yang mengancam jiwa karena kurangnya layanan medis dasar setelah Israel mengebom kota Rafah di Gaza selatan. Puluhan ribu anak Gaza menjadi yatim piatu
Laporan memilukan dari kantor media pemerintah Gaza juga mengungkapkan bahwa lebih dari 17.000 anak di Gaza menjadi yatim piatu sejak Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina.
Yang lebih mengejutkan lagi, menurut kantor media pemerintah Gaza, 3 persen anak yatim piatu di wilayah tersebut secara tragis kehilangan orang tuanya akibat agresi Israel yang terus berlanjut.
Organisasi bantuan anak-anak terkemuka Save the Children melaporkan bahwa sekitar 21.000 anak-anak Palestina hilang akibat serangan Israel di Gaza.
Perkiraan ini mencakup sekitar 17.000 anak tanpa pendamping yang terpisah dari keluarga mereka, dan sekitar 4.000 anak yang mungkin hilang di bawah reruntuhan.
Organisasi tersebut juga menekankan bahwa beberapa anak mungkin dikuburkan di kuburan tak bertanda.
Yang lainnya dihilangkan secara paksa, termasuk mereka yang diculik dan diseret keluar dari Gaza.
“Keluarga merasa terganggu dengan keberadaan orang yang mereka cintai yang tidak diketahui,”
“Tidak ada orang tua yang harus menggali reruntuhan atau kuburan massal untuk menemukan sisa-sisa anak mereka.”
“Tidak ada anak yang boleh tinggal sendirian di zona perang tanpa perlindungan. Tidak ada anak yang boleh ditahan atau disandera,” kata Jeremy Stoner, direktur regional Save the Children untuk Timur Tengah.
(Tribunnews.com, Andari Ulan Nugrahani)