5 Poin Penting UU KIA yang Disahkan DPR, Ibu Bekerja Bisa Cuti Melahirkan Sampai 6 Bulan-Ayah 2 Hari

TRIBUNNEWS.COM – DPR RI mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menjadi undang-undang (UU).

Pengesahan UU KIA digelar dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa (6/4/2024).

UU KIA menjamin hak anak pada seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.

Ada beberapa poin penting yang dibahas dalam UU KIA.

Lantas apa saja poin penting UU KIA pada fase pertama kehidupan seribu hari? 1. Izin untuk ibu hamil s/d 6 bulan

Diketahui, dalam aturan UU KIA, cuti bagi ibu hamil paling singkat pada tiga bulan pertama dan maksimal pada tiga bulan berikutnya.

Dalam hal terdapat syarat-syarat khusus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter, sesuai dengan pasal 4.3. 2. Gaji pekerja hamil dan cuti melahirkan

Setiap ibu bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.

Para ibu ini juga berhak mendapat upah penuh pada tiga dan empat bulan pertama, serta 75 persen gaji pada bulan kelima dan keenam. 3. Ayah bisa berpamitan saat istrinya melahirkan

UU KIA juga mengatur kewajiban suami mendampingi istrinya selama masa persalinan.

Bahwa Anda tidak diberikan hak cuti selama dua hari dan dapat diberikan tiga hari lagi atau sesuai kesepakatan majikan.

Suami yang mendampingi perempuan yang pernah melakukan aborsi berhak mendapat libur dua hari.

Secara umum UU KIA mengatur bahwa suami berhak mendapat waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan anaknya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Istri mengalami gangguan kesehatan, gangguan kesehatan dan/atau komplikasi setelah melahirkan atau aborsi spontan; Anak yang dilahirkan dengan gangguan kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi; Wanita yang melahirkan anak tersebut telah meninggal dunia dan/atau; Anak yang belum lahir meninggal.

Selama cuti mendampingi istri, suami bertanggung jawab menjaga kesehatan istri dan anak serta memastikan mendapat makanan yang cukup sesuai aturan.

Suami juga harus mendukung istrinya untuk memberikan ASI eksklusif (ESL) selama enam bulan penuh. 4. Tanggung jawab orang tua

UU KIA juga menyebutkan bahwa ibu, ayah, dan keluarga harus bertanggung jawab atas seribu hari pertama kehidupan. 5. Pemerintah harus memberikan jaminan kepada ibu hamil

Pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pada seribu hari pertama kehidupan.

Pemerintah harus memberikan jaminan kepada seluruh ibu, termasuk mereka yang memiliki kerentanan khusus, sebagai berikut: Ibu yang berkonflik dengan hukum Ibu yang berada di Lapas Ibu yang berada di tempat penampungan Ibu yang berada dalam situasi konflik dan bencana Ibu tunggal korban kekerasan Ibu dengan HIV/Aids Ibu yang berada di daerah tertinggal ke depan dan seterusnya Ibu dengan gangguan jiwa Ibu penyandang disabilitas Menteri PPPA menegaskan, Kesejahteraan Ibu dan Anak adalah tanggung jawab bersama.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama.

Menurutnya, seorang ibu membutuhkan ruang untuk tetap berdaya selama seribu hari pertama kehidupan seorang anak.

Maka peran suami juga diperlukan dalam hal ini, untuk memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi yang baik.

Oleh karena itu, suami wajib memberikan dukungan kesehatan, gizi, menyusui, serta memastikan istri dan anak mendapat layanan kesehatan dan gizi, kata Bintang dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5/2024).

Ditambahkannya: “Meringankan beban ibu dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan syarat penting bagi kesejahteraan ibu dan anak di seribu hari pertama kehidupan. nyawa mereka tetap hidup,” tambahnya.

Menurut Bintang, ibu dan anak di Indonesia saat ini masih terus menghadapi berbagai persoalan, seperti tingginya angka kematian ibu saat melahirkan, angka kematian bayi, dan aborsi.

Sementara itu, kebijakan kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan dan belum mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat yang dinamis.

“Penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak pada seribu hari pertama kehidupan perlu kita tata secara lebih komprehensif, terukur, terkendali, dan terencana,” kata Bintang.

(Tribunnews.com/Rifqah/Fahdi Fahlevi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *