TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Psikolog forensik dan kriminolog Reza Indragiri mengungkapkan ada lima hal yang patut diselidiki dalam pembunuhan Amriel Vina Cirebon.
Komentar tersebut diterima permohonan praperadilan Pegi Setiawa di hadapan hakim tunggal PN Bandung, Eman Suleiman.
Dalam sidang yang digelar Senin (8/7/2024), tidak ada bukti Hakim Eman Pegi bisa dijadikan tersangka sebagai tergugat oleh Polda Jabar.
Reza Indragiri menilai pengusutan kasus pembunuhan Wina dan pacarnya Mohammad Rizki atau Eki belum terselesaikan dengan bebasnya Pegi Setiawa.
Menurut Reza, ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam kasus ini. 1. Aep harus diadili
“Saya kira pernyataan selama ini paling merugikan pemberitaan fakta,” kata Reza dalam keterangannya, Senin (8/7/2024).
Reza bertanya dari mana AEP berasal.
“Dari diri sendiri atau dari pengaruh luar? Kalau dari pihak luar, pihak siapa itu?” dia berkata. 2. Status pengemudi
Reza mengatakan, sosok yang memiliki perbedaan intelektual bisa sangat direkomendasikan.
Dengan kondisi seperti ini, Sudirman sebenarnya berkepribadian lemah. Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel (Foto oleh saluran YouTube Baitul Maal Hidayatullah)
“Kenangan, perkataan, cara berpikir dapat menimbulkan dampak yang merugikan atau merugikan bagi aparat penegak hukum. Kita memerlukan bantuan untuk menetralisir segala bentuk pengaruh eksternal yang dapat “mendiskreditkan” seorang saksi dengan kepribadian unik seperti Sudirman, dan seorang saksi dengan kepribadian unik. kepribadian seperti Sudirman, “kata. Kisah Patah Polda Jabar
Reza menjelaskan, Peggy adalah dalang pembunuhan berencana yang berdampak serius bagi nasib delapan narapidana tersebut.
“Bagaimana mempertahankan tesis bahwa kedelapan warga binaan tersebut adalah kaki tangan Peggy? Apakah mereka benar-benar pembunuh berencana padahal setiap kasus menunjukkan tidak pernah ada hubungan antara tersangka (sebagai eksekutif) dan Peggy (sebagai dalang)?,” kata Reza. 4. Catatan elektronik
Selama ini pembahasan karya ilmiah Polda Jabar hanya sebatas DNA, CCTV, dan otopsi.
Meski saya tetap mendukung penyelidikan ilmiah yang dilakukan Polda Jabar pada tahun 2016, namun ada hal yang tidak pernah saya perhatikan. Lebih spesifiknya, ditemukan bukti elektronik berupa rincian komunikasi antar pihak pada jenazah korban. Wina dan Eki di malam hari. Ditemukan pada tahun itu, katanya.
Reza pun mencontohkan komunikasi yang dilakukan masing-masing korban dengan kenalannya melalui perangkat tersebut.
Siapa, dengan siapa, tentang apa, kapan. Ada empat hal yang harus dirinci sebagai bukti.
Sekali lagi, siapa yang menghubungi siapa dan kapan.
Saya tahu Polda Jabar mendapat informasi dari perangkat pihak-pihak tersebut. Saya juga yakin informasi itu bisa mengubah nasib seluruh terdakwa kasus Cirebon 180 derajat, ujarnya. 5. Kompensasi bagi mereka yang ditangkap secara tidak sah
Ini adalah praktik di banyak negara. Daripada menggunakan mekanisme hukum yang bersifat memaksa dan bahkan sewenang-wenang.
“Lembaga kepolisian sering kali memilih solusi positif terhadap kompensasi.”
Diketahui, Hakim Eman Suleiman Pegi Setiawan telah menyerahkan sidang perdana ke Polda Jawa Barat (Jabar), sebagai terdakwa.
Menurut hakim, tidak ada bukti tergugat memanggil pemohon sehingga tidak mengetahui dirinya masuk dalam daftar orang yang dicari (DPO) terkait pembunuhan Win dan Eka.
Hakim hanya menanyakan keberadaan ibu pemohon kepada tergugat.
Padahal, pemanggilan tersangka diperlukan sebelum penunjukan DPO, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 17 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Reserse Kriminal. Surat Perintah Reserse Kriminal Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.
“Penunjukan DPO atas nama pelapor tidak sah karena terjadi antara tahun 2016 dan 2024,” kata Eman, Senin.
Terkait catatan pemohon Peggy Setiawa, hakim menilai tidak sah secara hukum.
Menurut hakim, identitas tersangka hanya berdasarkan alat bukti prima facie dan dua alat bukti cukup, sehingga calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu.
Putusan Mahkamah Konstitusi (KU) 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015 menyebutkan, selain dua alat bukti, tersangka harus dijadikan tersangka, dan tersangka harus diperiksa dalam keadaan luar biasa.
Berdasarkan fakta kasus, tidak ada bukti bahwa pemohon diperiksa sebagai calon tersangka dalam pemeriksaan tergugat sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka oleh terdakwa. hakim harus menyatakan surat keterangan tersangka tidak sah oleh terdakwa.” Kecurigaan Peggy dan pembunuhan Wina
Pada tahun 2016, polisi menemukan 11 orang yang diduga membunuh Win dan Eki di Sirebon, Jawa Barat.
Delapan terpidana antara lain Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, Rivaldi Aditya Wardana, dan Saka Tatal diadili.
Tujuh terdakwa divonis penjara seumur hidup, dan satu orang divonis delapan tahun penjara karena masih di bawah umur pada saat melakukan kejahatan.
Namun mereka belum ditangkap dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dengan perkiraan usia mereka saat ini yakni Pegi alias Perong (30), Andi (31), dan Dani (28).
Delapan tahun kemudian, polisi membuka kembali pada 21 Mei 2024 setelah menangkap salah satu buronan, Pegi Setiawan alias Egi alias Perong.
Menariknya, Pegi alias Perong ditetapkan sebagai tersangka terbaru dalam kasus tersebut meski sebelumnya ada tiga orang. Majelis hakim membacakan hasil sidang pendahuluan Peggy Setiawan. (Berita Tribun)
Polisi merevisi jumlah tersangka menjadi sembilan dan mengatakan dua tersangka lainnya masih buron.
Namun banyak kesaksian yang menyebut Peggy yang kini ditahan tidak terlibat dalam pembunuhan Wina karena saat kejadian ia sedang berada di Bandung. (*)