TRIBUNNEWS.COM – Keputusan Inggris untuk menangguhkan beberapa izin ekspor senjata ke Israel telah membuat marah banyak otoritas Israel, serta kelompok hak asasi manusia yang menilai keputusan tersebut tidak cukup.
Keputusan tersebut menandai perubahan kebijakan luar negeri Inggris yang sebelumnya sejalan dengan AS dalam mendukung Israel.
Pada Senin (2/9/2024), Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy mengatakan kepada parlemen bahwa pemerintah telah menangguhkan sekitar 30 dari 350 izin ekspor senjata ke Israel.
Mengutip NPR, berikut 5 hal yang perlu Anda ketahui terkait penangguhan tersebut: 1. Inggris mengirimkan bahan peledak, senjata, dan komponen jet tempur ke Israel. Namun, Inggris bukanlah pemasok utama Israel.
Pemasok utama senjata ke Israel adalah Amerika Serikat dan Jerman.
Menurut data pemerintah, ekspor pertahanan Inggris ke Israel relatif kecil, dari sekitar $55 juta pada tahun 2022 menjadi sekitar $24 juta pada tahun 2023.
Ekspor tersebut meliputi bahan peledak dan alat peledak, senapan serbu, dan komponen pesawat militer.
Senjata-senjata tersebut diproduksi di Inggris berdasarkan perjanjian lisensi yang memungkinkan perusahaan mengekspor senjata langsung ke Israel.
Secara keseluruhan, Inggris telah melisensikan senjata senilai lebih dari $725 juta kepada Israel sejak tahun 2008, menurut perkiraan parlemen.
Menteri Pertahanan Inggris John Healey mengatakan kepada radio lokal pada hari Selasa bahwa penangguhan sebagian ekspor senjata tidak akan mempunyai dampak “material” terhadap keamanan Israel. Ilustrasi persenjataan tentara Israel (Responsible Staatecraft) 2. Bukan embargo senjata
Beberapa negara, termasuk Kanada, Spanyol, Belgia, Italia dan Belanda, telah mengumumkan pembekuan seluruh ekspor senjata ke Israel dalam beberapa bulan terakhir.
Negara-negara tersebut telah menyadari besarnya dampak serangan Israel terhadap warga Palestina di Gaza.
Namun, Inggris telah menangguhkan kurang dari 10 persen izin yang diberikan kepada produsen senjata untuk mengekspor ke Israel.
Inggris telah lama menjadi salah satu sekutu terdekat Israel dan terus membela Israel.
Pemerintahan Konservatif sebelumnya menugaskan tinjauan hukum terhadap ekspor senjata Inggris ke Israel awal tahun ini.
Namun, pemerintah belum sempat mengumumkan hasil peninjauan tersebut hingga mereka mengundurkan diri setelah pemilu 4 Juli.
Baru pada saat itulah pemerintah kiri-tengah yang baru menerbitkan makalah kebijakan pada Senin malam untuk menjelaskan keputusannya.
Dia juga mengatakan bahwa dia menyimpulkan bahwa Israel telah gagal dalam memberikan bantuan kemanusiaan di Gaza dan perlakuan terhadap para tahanan. 3. Para pejabat Israel merasa malu
Dalam sebuah postingan di media sosial pada hari Selasa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut tindakan Inggris “memalukan.”
“Keputusan Inggris yang salah arah hanya akan mendorong Hamas,” tulis Netanyahu.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan dia “sangat kecewa”.
Di Inggris, kepala rabbi di negara itu, Ephraim Mirvis, mengatakan bahwa tidak masuk akal bagi Inggris untuk melakukan hal ini terhadap sekutunya, Israel. 4. Kelompok hak asasi manusia juga kecewa
Amnesty International menilai penangguhan izin ekspor senjata yang dilakukan Inggris terlalu terbatas dan memiliki terlalu banyak celah.
Human Rights Watch mengatakan keputusan tersebut “belum cukup.”
Para aktivis khawatir Lammy mengumumkan pengecualian untuk komponen jet tempur F-35, yang digunakan Israel untuk menjatuhkan bom di Gaza.
Sekitar 15 persen dari komponen ini dibuat di Inggris, menurut kelompok advokasi.
Selain itu, jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris menginginkan pemerintah mereka menghentikan semua ekspor senjata ke Israel. 5. Ada kekhawatiran bahwa keputusan ini akan memperburuk hubungan Inggris dengan Amerika dan Israel
Inggris umumnya bersekutu dengan sekutunya, AS, dalam kebijakan Israel.
Namun, pemerintahan kiri-tengah Inggris yang baru, yang terpilih pada bulan Juli, telah mengindikasikan bahwa mereka mungkin akan mengambil pendekatan yang lebih independen.
Perdana Menteri baru, Keir Starmer, adalah mantan pengacara dan jaksa hak asasi manusia.
Starmer mendapat tekanan dari beberapa pendukungnya untuk bersuara ketika jumlah korban sipil di Gaza meningkat.
Dalam beberapa minggu setelah menjabat, pemerintahan Starmer mengatakan akan melanjutkan pendanaan UNRWA, badan bantuan utama PBB untuk Palestina.
Pada akhir Juli, pemerintahan Starmer membiarkan tenggat waktu berlalu tanpa mengajukan keberatan terhadap permintaan surat perintah penangkapan Netanyahu dan Gallant dari Pengadilan Kriminal Internasional.
Inggris, yang saat itu berada di bawah pendahulu Starmer, Rishi Sunak, berjanji akan mengajukan dokumen hukum yang menentang surat perintah penangkapan Netanyahu.
Namun dalam perselisihan lainnya dengan Amerika Serikat, pemerintah Starmer mengatakan akan merujuk kasus ini ke ICC, dan tidak akan melakukan intervensi.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)