Laporan jurnalis Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, TAIPEI – Asia Tenggara terancam perang setelah Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan mendeteksi 41 pesawat militer China bermanuver di wilayah udara Taiwan dalam 24 jam terakhir.
“Kami mendeteksi 41 pesawat militer Tiongkok dan tujuh kapal perang beroperasi di sekitar Taiwan dalam periode 24 jam hingga pukul 06.00,” kata Kementerian Pertahanan Taiwan.
Menurut Barrons, pengepungan ini dilakukan sehari setelah Beijing menyatakan pendukung kemerdekaan Taiwan bisa menghadapi hukuman mati.
Meski manuver 41 jet tempur Tiongkok tidak menimbulkan korban jiwa, namun untuk mencegah manuver serupa, Kementerian Pertahanan Taipei menyatakan telah memantau situasi dan merespons dengan tepat.
Pengerahan pesawat dan kapal militer bukan kali pertama dilakukan China, pasalnya belakangan negara tirai bambu ini semakin mewaspadai pesawat tempur di Selat Taiwan.
Salah satunya terjadi pada 25 Mei, ketika 62 pesawat militer Tiongkok terdeteksi terbang di sekitar Taiwan dalam jangka waktu 24 jam. Jumlah tersebut tercatat sebagai jumlah satu hari tertinggi untuk penempatan pesawat militer Beijing di dekat Taipei sepanjang tahun ini.
Tindakan ini merupakan bentuk gertakan Tiongkok atas pelantikan presiden baru Taiwan, Lai Ching-te, yang dianggap sebagai tindakan “separatis”, karena pelantikan tersebut bertentangan dengan interaksi resmi antara wilayah Taiwan dengan Tiongkok.
Tiongkok mengklaim Taiwan sebagai bagian integral dari wilayahnya yang harus diintegrasikan kembali ke dalam Republik Rakyat Tiongkok. Presiden Xi Jinping sendiri mengatakan bahwa pemerintahannya berkomitmen untuk mencapai reunifikasi dengan Taiwan yang terpecah belah akibat perang saudara pada tahun 1949.
Namun Taiwan tetap memegang teguh klaim kedaulatannya sebagai negara merdeka dengan identitas nasionalnya sendiri. Alasan tersebut membuat China sangat marah hingga memutuskan mengepung Taiwan dengan kapal perang dan jet tempur. Tiongkok dapat merebut Taiwan tanpa perang
Lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, memperkirakan pemerintah China telah menyiapkan skenario selain invasi atau blokade militer untuk mempercepat reunifikasi Taiwan.
Metode yang akan diadopsi Tiongkok adalah metode karantina taktis zona abu-abu yang memungkinkan penjaga pantai Tiongkok, yang disebut milisi maritim, dan berbagai polisi serta badan keamanan maritim untuk memulai karantina penuh atau sebagian di Taiwan.
Karantina kemungkinan akan memutus akses ke pelabuhan Taiwan dan mencegah pasokan penting seperti energi menjangkau 23 juta penduduk pulau itu.
Lebih lanjut, langkah baru Tiongkok ini diyakini akan menyulitkan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara demokratis lainnya untuk membantu Taiwan melawan perlawanan yang ditawarkan pemerintah Beijing.
Jika kapal atau pesawat militer AS berani melakukan intervensi untuk melindungi Taiwan, AS dapat dianggap memulai permusuhan militer.
“Karantina adalah operasi yang dipimpin oleh penegakan hukum untuk mengendalikan lalu lintas maritim atau udara di wilayah tertentu, sementara blokade bersifat militer,” kata laporan CSIS.
“Langkah ini akan menempatkan AS pada posisi yang sulit,” tambah laporan itu.