TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sederet penyalahgunaan keuangan yang dilakukan Syahrul Yasin Limpo (SYL) semasa menjabat Menteri Pertanian (Mentan) terungkap dalam perkara yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5 Agustus 2024).
Mulai dari gaji pembantu rumah tangga (ART), membayar hewan kurban, hingga menyewa pesawat pribadi atau pesawat pribadi menggunakan dana negara atau disebut juga Pendapatan dan Anggaran Negara (APBN).
Berikut fakta Tribunnews.com terkait persidangan SYL atas penyalahgunaan dana. 1. Manfaat ART menggunakan dana masyarakat.
SYL disebut menggunakan dana negara untuk menggaji pembantu atau pembantu rumah tangga (ART).
Fakta tersebut diungkapkan para saksi pada sidang berikutnya dalam kasus korupsi yang diajukan ke Kementerian Pertanian, Kamis (5 Agustus 2023).
Saksi yang mengungkap fakta tersebut adalah Hermanto, Direktur Biro Bahan Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian.
“Untuk membayar gaji para pelayan,” kata Hermanto dalam persidangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Berapa gaji pembantu?” Mintalah pengacara kota Anda untuk mengonfirmasi.
“Tuan SIL.” jawab Hermanto.
“Siapa wanita ini?” kata jaksa.
“Di Makasar.”
Awalnya Hermanto merogoh kocek sendiri untuk membayar gaji ART SYL. Ini perintah atasannya Ali Jamil, Direktur PSP Kementerian Pertanian.
Hermanto mengaku membayar gaji asisten SYL sebesar Rp32 juta di Makassar, Sulawesi Selatan.
“Dari direktur. Saya tidak tahu kewenangan siapa, tapi direktur yang bertanya. Pak Ali Jamil yang bertanya. Saat itu sudah malam dan saat itu dia harus pindah,” kata Hermanto.
“Berapa nilainya?”
“Saya transfer $32 juta ke rekening pembantunya,” kata Hermanto.
Kemudian uang pribadi Hermanto digantikan oleh Lukman Irwanto, Kepala Kementerian Pertanian dan Perumahan Rakyat.
Pengacara KPK menunjukkan bukti transfer gaji ART SYL di pengadilan.
Dari bukti yang ditunjukkan, ada tiga transfer sebesar Rp 35 juta, bukan Rp 32 juta.
Theresia Rp 22 (juta) ditambah Rp 13 (juta), Rp 10 (juta). Jadi, Theresia Rp 35?
“Ya.” 2. Membayar hewan kurban
Mereka menyebut SYL menggunakannya untuk mengorbankan uang perusahaan pertanian.
Fakta pembayaran kurban terungkap saat Hermanto, Direktur Jenderal Perbekalan dan Peralatan Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, bersaksi di Pengadilan Tipikor (Tipikor) Jakarta.
Sumbangan yang dimaksud adalah 12 ekor sapi yang diminta Direktorat Jenderal Kementerian Pertanian.
“Sejauh yang saya tahu, awalnya kurang bagus, jadi awalnya mereka ubah menjadi tiga, lalu ubah lagi, tambah tiga jadi totalnya 12. Prosedur yang diperlukan sama untuk semua organisasi reguler untuk melakukannya. hari ini. aku tahu.” Herman yang duduk di bangku saksi mengatakan:
Namun Sekjen PSP Hermann Kementerian Pertanian tidak langsung membeli sapi kurban yang dimaksud.
Dalam kasus ini, Sekjen PSP diminta hanya mengirimkan uang untuk membeli daging.
Menurut Herman, jumlah yang diminta kelompoknya sebesar Rp360 juta.
Ermanto mengatakan, “Jadi perkiraan 360 juta unit itu berbeda-beda tergantung jenisnya,” dan menambahkan, “Tadi saya katakan, total PSP jika dievaluasi sebanyak 12 unit, jadi jumlahnya kurang lebih 360 unit.”
“Kemudian akan ditransfer ke Biro Umum, kan?” tanya jaksa KPK.
“Organisasi umum,” jawab Hermanto.
Hermanto mengaku belum pernah melihat sapi seharga Rp 360 juta itu karena belum membelinya sendiri.
Bahkan di lingkungan Direktorat PSP Kementan pun, tak ada insiden terkait penyembelihan sapi sisa sebanyak 360 juta ekor.
“Sebenarnya saat itu tidak ada kejadian, jadi maksudnya ini yang dibeli 12PSP (Sekretaris Negara)?” tanya jaksa.
“tidak apa.” jawab Hermanto.
Hermanto, serta Puguh Hari Prabowo, Menteri Pertanian, Sekretaris Jenderal PSP, dan Menteri Keuangan, menyampaikan pernyataan serupa.
Fugu, seorang pengusaha, mengatakan $360 juta yang diminta Sekretaris Jenderal PSP diperoleh dari Financial Provident Fund (UP).
“Kami mendapat informasi dari Pak Hermanto. Setelah itu sekretaris hanya meminta uang muka dan bukan instruksi,” kata Puguh dalam sidang yang sama.
“Kamu menggunakan uang dari pembayaran pertama kita?” tanya jaksa.
“itu benar.” Jawab Fugu.
“Apa yang dimaksud dengan uang muka, UP?” Jaksa bertanya lagi seolah ingin meyakinkannya.
“Besar.”
UP ini harus diperhitungkan dalam Buku Rekening (SPJ), sehingga akuntan memprosesnya sebagai perintah pembayaran.
“Masing-masing PPK tanda tangan. PPK punya dealer. Saya tidak tahu persis bagaimana masing-masing dealer menggantinya. Mereka mengembalikan dokumen itu dengan surat perintah membayar,” ujarnya. 3. Kebutuhan pribadi SYL
Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) membeberkan strategi yang digunakan untuk memenuhi persyaratan SYL.
Pertanyaan yang diajukan adalah tentang kebutuhan pribadi pendeta.
Kebijakan itu terungkap saat Ermanto, Direktur Prasarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, memberikan kesaksian di persidangan.
Hermanto bersaksi dalam kasus kepuasan yang melibatkan SYL. Muhammad Hatta, mantan Direktur Jenderal Alat dan Mesin Kementerian Pertanian; dan Kasdi Subagyono, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen), termasuk di antara para terdakwa.
Dia mengatakan pejabat Departemen Pertanian harus meminjam nama tersebut untuk membuat tur resmi yang tidak terduga.
“Dari mana datangnya uang untuk memenuhi permintaan ini?” tanya jaksa KPK.
“Masalah ini biasanya kami selesaikan dengan dukungan dari tim travel manager kami, misalnya teman-teman travelling kami,” jawab Hermanto.
Menurut Hermanto, para pekerja yang namanya dipinjam untuk perjalanan dinas yang tidak ada gunanya, mengetahui dan memahami hal tersebut.
Hal ini harus dilakukan karena tidak ada cara lain untuk memenuhi persyaratan SYL.
“Apakah orang-orang yang mempunyai nama sama mengetahui proses ini?”
“Lho, karena kami paham syaratnya harus seperti itu. Tidak ada jalan lain, karena kami tidak menyewa vendor, kami hanya menyewa sumber APBN,” kata Hermanto.
Selain itu, sumber pendanaan pemenuhan persyaratan SYL juga bersumber dari sisa tunjangan perjalanan dinas pegawai Departemen Pertanian.
“Kita bisa kesampingkan itu dan mencari nama. Secara teknis, itu terserah teman TU kita.” 4. Naik pesawat pribadi
Penelusuran lanjutan kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap perizinan atau penyewaan pesawat menggunakan dana negara dari Menteri Pertanian (Mentan), mantan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Fakta itu dibenarkan Lukman Irwanto, Direktur Kementerian Pertanian dan Keluarga, yang bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Lukman, Kepala Bidang Distribusi, mendapat instruksi dari Kementerian Pertanian, Pangan, dan Perdesaan pada tahun 2020.
“Informasi dari Bendahara hanya untuk tahun 2020. Tidak ada data anggaran tahun sebelumnya, 2021 atau setelahnya. Bisa dijelaskan apa itu PPK saat saksi melihat DIPA?” tanya jaksa pada Lukman.
“Memang Pak Puguh (Badan Keuangan Direktorat Sumber Daya Pertanian Kementerian Pertanian) menjelaskan bahwa sudah ada permintaan dari instansi terkait penyewaan pesawat,” jawab Lukman.
Biaya sewa pesawat kepada Lukman, Kasubbag TU, sebesar Rp1,5 miliar.
Berdasarkan invoice yang diterima Lukman, pesawat tersebut ditumpangi SYL dan beberapa pejabat Eselon I Kementerian Pertanian, termasuk Direktur Pangan dan Tanaman.
“Sewa pesawat antara Menteri dan Eselon I sebesar Rp 1,5 miliar. Pernyataan saya, kata Eselon I, Direktur Pangan, saya lupa,” kata Lukman.
Menurut Lukman, itulah tagihan sewa pesawat RP.
Kemudian dia harus merevisi anggarannya dengan memasukkan sewa pesawat.
“Saya izin. Malah, Anda dibayar sepulang kerja dan setelah menerima tagihan. Dan kalau tidak salah, itu hari libur. Nah, Anda mendapat gaji Rp 1,5 miliar pada hari Senin uang. Sewa pesawat “Amankan anggaran,” katanya.
Lukman merevisi anggaran untuk memasukkan sewa pesawat atas permintaan atasannya saat itu.
Terakhir, biaya kontrak maskapai penerbangan dimasukkan ke dalam Daftar Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
“Apa yang terjadi dengan revisi anggaran?” tanya jaksa KPK.
“Ketua, Pak Gunawan.” Luke, jawab Ibu.
“Apa yang disampaikan saksi kepada Pak Gunawan saat itu?” Jaksa bertanya lagi.
“Saya bekerja sama dengan Pak Gunawan untuk merevisi anggaran DIPA atau POK sewa pesawat,” kata Lukman.
Uang yang dibutuhkan untuk membayar sewa pesawat masuk ke APBN.
Namun Badan Pengawas Keuangan (BPK) kemudian menilai hal tersebut tidak adil.
Alhasil, BPK meminta RP terkait.
Hasil audit tersebut, BPK meminta Kementerian Pertanian mengembalikan kelebihan pembayaran sebesar Rp140 juta.
Lukman kemudian meneruskan temuan BPK ke Sekretariat Kementerian Pertanian.
“Sampai kita proses untuk dikelola dan diserahkan ke BPK,” kata Lukman.
“Jadi maksudnya saksi tidak menunjukkan hasil pemeriksaan BPK sampai diinstruksikan mengembalikan selisih $140 juta ke Direktorat Jenderal yang meminta uang?” tanya jaksa.
“Saya akan memberitahu Anda, Tuan.”
Menurut Lukman, Rp.
Namun, R140 juta dikembalikan tanpa melalui Kementerian Pertanian.
“Siapa yang membayar dengan mencicil?” kata jaksa.
“Itu terjadi di kedua belah pihak,” kata Lukman, “sehingga bebannya ada di pihak lain karena manfaat penemuan mereka terlalu besar.”
Sekadar informasi, surat pernyataan ini ditujukan kepada tiga terdakwa: mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo; Muhammad Hatta, mantan Direktur Jenderal Alat dan Mesin Kementerian Pertanian; Kasdi Subagyono, mantan Direktur Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen).
Dalam kasus ini, mereka menggugat SYL ganti rugi sebesar Rp 44,5 miliar.
Jumlah tersebut akan dikumpulkan oleh SYL pada tahun 2020 hingga 2023.
“Uang yang diterima terdakwa melalui eksekusi di atas saat menjabat Menteri Pertanian RI berjumlah RP 44.546.079.044,” kata kuasa hukum KPK, Masmudi, dalam putusannya, Rabu (28/8). ) . /2024) Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Uang ini dikumpulkan dari SYL dengan menunjuk pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Menurut penggugat, perbuatan SYL sudah dibantu oleh Muhammad Hatta, mantan Direktur Alat dan Mesin Departemen Pertanian, dan Kasdi Subagyono, Direktur Jenderal Departemen Pertanian. Juga seorang terdakwa.
Selain itu, uang yang dikumpulkan Kasdi dan Hatta digunakan untuk kesejahteraan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan pengaduan, pengeluaran terbesar dari jumlah tersebut adalah untuk acara keagamaan, kegiatan pelayanan, dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang tersedia yaitu sebesar Rp 16,6 miliar.
“Uang tersebut kemudian dicairkan sesuai perintah dan petunjuk tergugat,” kata penggugat.
Atas perbuatannya, mereka terlebih dahulu mengadili terdakwa. Didakwa dengan Pasal 64 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, Pasal 12 e. . hukum pidana.
Dakwaan kedua: Pasal 12 f juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Angka 1 KUHP berdasarkan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dakwaan ketiga: Pasal 12B, Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, Pasal 55 ayat (1) Nomor 1 KUHP, Pasal 64 ayat (1) KUHP.