TRIBUNNEWS.COM – Meninggalnya Dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, memasuki babak baru.
Dr. Auliya ditemukan tewas di apartemennya pada 12 Agustus 2024.
Diduga ia mengakhiri hidupnya karena menjadi sasaran penyiksaan di PPDS Anestesi Undip.
Satu persatu informasi baru mengenai penumpasan PPDS Undip mulai bermunculan.
Baru-baru ini, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan dugaan pelecehan seksual di fasilitas PPDS Undip. Penindasan dan pelecehan telah terjadi selama bertahun-tahun
Prof. di Denpasar, Bali. Berbicara setelah pembukaan pusat kesehatan ibu dan anak di rumah sakit tersebut, Dr Ngoera mengatakan pelecehan dan penganiayaan telah terjadi selama bertahun-tahun.
Ia juga mengakui para pemuda melakukan pelecehan terhadap PPDS Undip.
Budi mengatakan, Senin (9 Februari 2024), “bullying tersebut serius dan menyakitkan lahir dan batin.”
Lalu datanglah pelecehan, meminta uang kepada orang, menurut saya itu berlebihan dan kemarin ada satu orang yang tidak tahan lagi dan dia mencapai puncaknya dan meninggal.
Menurut Budi, ini adalah cara terbaik untuk menikahi banyak saudara perempuan.
Ia menilai praktik seperti itu harus segera dihilangkan dari dunia pendidikan.
“Saya mau hilangkan itu, masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang harusnya diperketat. Iya (bullying) dibilang ketat.”
Ya, TNI dan Polri sudah tidak sulit lagi kan? Pilot juga harus sehat secara fisik, bisa dilatih tanpa penyiksaan, jelasnya. Deepalak 20-40 lakh per bulan
Beberapa fakta tentang meninggalnya Dr. Auliya juga telah terungkap.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan dr. Auliya digaji sebesar Rp 20-40 juta per bulan oleh atasannya.
Faktanya, Dr. Aulia menjalani operasi PPDS dengan bantuan dana hibah dari Kementerian Kesehatan RI.
Permintaan pendanaan berkisar Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan, jelas Syahril pada 9 Januari 2024.
Syahril mengatakan, pembayaran tersebut diduga menjadi penyebab depresinya Dr. Sebelum Aulia mengakhiri hidupnya.
Hal ini karena Dr. Auliya merasa membayar uang sebesar itu merupakan beban besar bagi dr. Auliya dan keluarganya.
“Uang ini merupakan beban besar bagi almarhum dan keluarganya.”
Syahril mengatakan, “Benda ini diyakini sebagai amanah pertama almarhum untuk memaksakan pendidikannya, karena ia tidak menyangka uang ini begitu penting.” Undip menerima adanya biaya
Prof. Zainal Muttakin, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, mengakui PPDS membayar Rp 30 juta per bulan untuk mahasiswa Anestesiologi.
Zainal mengatakan, besaran tersebut berlaku untuk mahasiswa semester satu.
Soal gaji yang bisa diberikan Auliya semasa hidupnya, Zainal menilai itu bukan bentuk penipuan.
Zainal membenarkan uang tersebut diterima dari dr. Auliya.
Saat ini Dr. Auliya dikatakan bertanggung jawab untuk membiayai kelas tersebut.
“R itu pengelola dan ketua kelas. Setiap bulannya dia mengumpulkan Rp 30 juta untuk makannya sendiri, bukan dari teman atau orang yang lebih tua,” kata Zainal seperti dikutip Kompas.com, Senin. Aulia Risma Lestari (30), Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), ditemukan tewas di kamar tidurnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang, Jawa Tengah, karena bunuh diri. , Rabu (14/8/2024). (Sumbangan/ Tribun Jateng)
Dijelaskannya, mahasiswa PPDS Anestesi Undip harus membayar Rp3 juta per bulan selama satu semester.
Uang yang terkumpul seringkali digunakan untuk makanan para staf bedah.
Siswa tidak perlu membayar biaya ini pada semester berikutnya.
Selain itu, Zainal mengatakan, karena bertambahnya jumlah dokter residen, biaya mahasiswa kelas satu digunakan untuk makan.
“Mereka mengelola uangnya sendiri-sendiri, tidak dengan pejabat atau departemen, dan karena pengelolaan masing-masing departemen tidak sama, kesepakatan masing-masing departemen akan berbeda, maka tahun kedua akan berakhir. Tahun pertama, mereka akan melakukannya. menerima uang yang mereka simpan.” lanjutnya
Dekan FK Undip Jan Wisnu meyakinkan pihaknya akan mengusut tuntas dugaan korupsi di sekolah tersebut.
Yang berharap penelitian ini akan memberikan keadilan bagi mahasiswa, pasien, dan universitas.
Ia menolak memberikan jawaban pasti atas penipuan di PPDS Anestesi Undip.
Yan mengatakan, dia harus melalui beberapa langkah untuk memverifikasi penipuan tersebut.
“Kami masih berproses, tapi bagaimanapun kepercayaan masyarakat tidak bisa hanya datang dari Undip, harus dari luar (penelitian),” tegasnya.
(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Yohannes Liestyo P/Faryyanida Putwiliani) (Kompas.com)