4.294 Personel Gabungan Amankan Aksi Unjuk Rasa Petani dan Buruh di Depan Gedung DPR

Laporan reporter Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebanyak 4.294 pekerja dikerahkan untuk mengawal aksi demonstrasi berbagai elemen masyarakat dalam perayaan Hari Tani Nasional (HTH) 2024.

Aparat gabungan di Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Pemda DKI, dan pihak-pihak yang peduli terhadap keamanan.

Partisipasi kuat 4.294 petugas, meliputi 2.830 petugas dari TNI Daerah, 330 petugas dari Pasukan Res, BKO TNI, Ibu Kota, dan 1.134 petugas dari Pemda, kata Humas Polda Metro Jaya, Kompol Ade Ary. Syam Indradi, Kamis (24/9/2024).

Keamanan memerlukan pencegahan, pencegahan dan pengawasan.

Sasaran pengamanan di wilayah DPR/MPR RI sebanyak 3.517 orang, wilayah Monas 497 orang, wilayah Kementerian ATR/BPN 280 orang.

“Rekayasa lalu lintas bersifat situasional, melihat perkembangan di daerah,” jelasnya.

Jika jumlah orang bertambah dan semakin banyak maka akan terjadi penutupan jalan.

Polisi meminta pertemuan berpedoman pada instruksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Harap sampaikan niat tersebut dengan tenang dan damai, tanpa kata-kata kebencian atau kekerasan yang dapat merusak keutuhan keamanan dan ketertiban sosial,” kata Ade Ary.

Diketahui, ribuan buruh dan petani yang tergabung dalam Partai Buruh dan Serikat Tani Indonesia akan menggelar upacara peringatan Hari Tani Nasional ke-64 di Istana Negara, Selasa (24/9/2024) mulai pukul 09.00. . . 

Dari Istana, massa akan bergerak menuju Gedung DPR RI Pusat. 

Pada Hari Tani Nasional ke-64, Partai Buruh dan Serikat Tani Indonesia menyatakan “Reforma Agraria dimanipulasi, melanggar konstitusi”. 

Menurut Ketua Umum Serikat Tani Indonesia Henry Saragih, sikap tersebut diambil berdasarkan pandangan Serikat Buruh terhadap kinerja Pemerintahan Joko Widodo selama 2 periode. 

Reforma agraria merupakan manipulasi kegiatan yang tidak mereformasi sistem agraria yang timpang, melainkan ketimpangan agraria itu sendiri.

“UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak dijadikan acuan dalam kebijakan dan pelaksanaan land reform di Indonesia. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan Undang-Undang No. Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan “Di sisi lain, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang kontroversial melalui Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang isinya tidak hanya menambah pekerja tetapi juga petani dan masyarakat,” kata Henry Tell.

Reforma agraria pada dekade ini hanya bertujuan untuk melegalkan pengelolaan kepemilikan tanah yang selama ini timpang melalui proyek pertanahan, dan menjadi cara bagi korporasi besar untuk mengelola tanah atas nama proyek strategis nasional (PSN), dan atas nama perubahan iklim, jutaan hektar lahan manusia telah diubah menjadi hutan konservasi dan restorasi sebagai produk perdagangan karbon.

Henry juga menyampaikan bahwa konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat semakin meluas, dan konflik agraria yang ada hingga saat ini belum mendapatkan penyelesaian yang luas dan komprehensif.

Berdasarkan data Pusat Koordinasi Perekonomian dan Kantor Perdana Menteri RI, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik pertanahan dalam tujuh tahun terakhir (2016-2023). Dalam jumlah tersebut, terdapat 70 lokasi yang ditetapkan sebagai Lokasi Reformasi Pertanahan Prioritas (LPRA). 

Pada bulan Februari 2024, capaian distribusi lahan dan penyelesaian konflik di LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Hingga saat ini, masih terdapat 46 LPRA yang belum rampung dan 1.361 situasi pengaduan konflik agraria masih menunggu keputusan.

Henry juga mengatakan, jumlah petani kecil dan tidak memiliki lahan meningkat dalam 10 tahun terakhir. “Petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar mengalami peningkatan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta keluarga pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta keluarga pada tahun 2023,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli menegaskan, reformasi pertanahan harus tepat sasaran dalam upaya mereformasi sistem penguasaan pertanahan yang timpang. 

“Pemerintah harus menjamin reforma agraria yaitu pembagian tanah kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah, petani kecil untuk usaha pertanian, petani dan pembudi daya ikan untuk pengelolaan pangan, serta perumahan dan perumahan serta fasilitas sosial bagi masyarakat,” kata Ferri.

Ferri juga menyatakan, Partai Buruh menuntut pemerintah menghentikan seluruh Proyek Strategis Nasional (NPS) yang melakukan penggundulan tanah rakyat dan penggundulan hutan Indonesia, seperti proyek pangan dan real estate, serta penguasaan pasar tanah oleh Perusahaan Perbankan. dan penyerahan HGU/HGB/Hak Pakai kepada perusahaan, khususnya asing, yang dipromosikan oleh Bank Dunia dan IMF dan bersifat kapitalis dan neoliberal.

“Reforma agraria harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi yaitu sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pertanian Pertanian. Reformasi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan hal ini diperkuat dengan perlunya pembatalan UU Cipta Kerja karena UU ini bertentangan dengan undang-undang dan menghambat pelaksanaan reforma agraria”, kata Ferri;

Ferri menambahkan, pemerintah harus mengakhiri segala bentuk kejahatan dan diskriminasi terhadap petani.

Ia mengatakan, pemerintah harus melindungi hak asasi kedua petani berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Petani No.Perumah tangga dan orang lain yang bekerja di pedesaan).

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *