3 Poin Pernyataan Kemendikbudristek soal Polemik Biaya UKT, Sebut Kuliah Bukan Wajib Belajar

TRIBUNNEWS.COM – Belakangan ini, mahalnya biaya kuliah (UTF) di berbagai universitas tengah menjadi sorotan.

Beberapa mahasiswa bahkan melakukan demonstrasi untuk menyampaikan keluh kesahnya atas isu tersebut.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) merespons kontroversi mahalnya UKT. Peningkatan UKT merupakan hal yang wajar 

Tjitjik Shrie Tjahjandarie, Sekretaris Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, mengatakan peningkatan UKT di beberapa perguruan tinggi merupakan fenomena biasa.

“Perlu maintenance untuk mengisi ATK, lalu LCD, perkuliahan,” kata Žižić dalam konferensi pers di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Rabu (15//2024).

“Kalau begitu, kamu harus memberi dosen itu minum dan memberinya uang. Apakah guru benar-benar gratis?” dia melanjutkan. Berlaku untuk biaya latihan

Selain itu, Tjitjik menegaskan, biaya pendidikan tersebut sudah termasuk pendanaan kegiatan praktikum.

Menurutnya, tidak mungkin seragam dalam menentukan biaya praktik untuk setiap mata kuliah dan kurikulum.

“Sama seperti saya (saya mengajar) kimia. Satu kelas praktikum paling banyak 25 orang. Dan setiap praktikum hanya 2-3 orang,” ujarnya.

“Materi yang digunakan di tiap kelompok latihan berbeda-beda. Topik latihannya berbeda-beda. Banyak sekali. Itu yang kami tanggung untuk biaya operasional kami.”

Tjitczyk juga mengatakan akan membutuhkan biaya lebih besar untuk melaksanakan praktikum yang sesuai prosedur standar.

Selain itu, ada biaya lain untuk UTS dan ujian lainnya, seperti ujian akhir dan ujian skripsi.

Namun, Tjitjik mencontohkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mengalokasikan Rp 4,7 triliun setiap tahunnya untuk 76 perguruan tinggi negeri (PTN).

Namun biaya tersebut tidak hanya dialokasikan pada aktivitas saja.

“Investasi pada perguruan tinggi ini adalah untuk mengupgrade peralatan yang ada. Pertama, tempat praktik, laboratorium dan fasilitas pelatihan dimana inovasi dapat dikembangkan di perguruan tinggi ini,” imbuhnya. Pendidikan tinggi belum tentu merupakan pendidikan

Dalam kesempatan tersebut, Tjitjik juga menjelaskan bahwa pendidikan tinggi tidak termasuk dalam kategori pendidikan yang termasuk dalam program wajib belajar masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, kata dia, lulusan sekolah menengah tidak diwajibkan melanjutkan studi dan masuk perguruan tinggi.

“Tetapi dari sudut pandang yang berbeda, kita melihat bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan tinggi, sehingga tidak wajib belajar,” kata Tjitjik.

Pendidikan tinggi adalah sebuah pilihan, katanya.

Ia mengatakan, konsekuensi tidak memasukkan pendidikan tinggi dalam program wajib belajar adalah dibiayai oleh pemerintah.

Artinya, tidak semua lulusan sekolah pendidikan umum dan sekolah kejuruan harus diterima di perguruan tinggi. Itu sebuah pilihan. Orang yang ingin mengembangkan dirinya kuliah di universitas, jadi itu pilihan, bukan kewajiban.”

“Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi? Pemerintah tetap bertanggung jawab, namun dalam bentuk bantuan operasional kepada perguruan tinggi negeri yang kita sebut BOPTN,” ujarnya. DPRK: Kenaikan UKT tidak logis

Terkait hal tersebut, Guspardi Gaus, Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, mengaku memahami kekhawatiran mahasiswa dan orang tua terhadap kenaikan biaya UKT.

Guspardi menilai kenaikan iuran UKT yang dilakukan belakangan ini tidak logis dan tidak relevan.

Apalagi, rata-rata kondisi pendapatan masyarakat Indonesia saat ini kurang baik, dan tingginya pertumbuhan UKT sama sekali tidak logis dan tidak relevan, kata Guspardi kepada wartawan, Jumat (10/5/2024).

“Situasi ini mengkhawatirkan pemerintah dan tindakan serius harus diambil untuk mengatasinya.”

Akibat kenaikan biaya UKT, PTN yang berstatus PTN-BH kesulitan menjangkau kelompok rentan, ujarnya.

Salah satu tindakannya adalah dengan meminta keringanan biaya kepada pihak kampus.

Namun, upaya ini seringkali tidak berhasil.

“Sebenarnya dengan konsep PTN-BH ini berarti perguruan tinggi tidak lagi bergantung sepenuhnya pada APBN sehingga harus pintar-pintar mencari pendanaan di luar mahasiswa dan di luar subsidi negara.”

“Jangan hanya mengandalkan jumlah penerimaan mahasiswa. Ini bukan sifat tumbuhnya perguruan tinggi berbadan hukum dan jelas PTN-BH tidak berjalan sempurna,” ujarnya.

(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Fahdi Fahlevi/Chaerul Umam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *