Hal ini mungkin hanya sebuah kebetulan karena di peringatan 20 tahun wafatnya Benny ini, bangsa kita juga sedang bersiap menyambut pemimpin baru, yaitu Prabowo Subianto yang merupakan (jarak jauh) junior Benny di Korps Baret Merah (Kopassus) dan satuan yang sudah ada. dikenal sejak awal (1952 . pada bulan April).
Benny dan Prabowo dibesarkan di Kopas (RPKAD), namun konflik berkepanjangan di antara mereka menjadi epik, sehingga menambah naik turunnya peran militer di negara tersebut. Politisasi konflik keduanya sempat dibesar-besarkan, terutama menjelang pemilu presiden tahun 2009. (Pilpres).
Sebelum tahun 2009 Pada pemilu presiden, diterbitkan biografi Sintong Panjaitan (Akmil 1963), perwira yang dikenal dekat dengan Benny, yang juga anggota Baret Merah dan bahkan menjabat sebagai Panglima Kopassandha (Kopassandha 1985-1988).
Ada bagian dalam biografinya yang khusus membahas kelakuan Prabowo saat masih menjadi wakil komandan Skuad 81 Kopassus pada awal tahun 1980-an, Skuad 81 sendiri kini lebih dikenal dengan nama Satgultor 81.
Sedangkan atasan langsung Prabow di Den 81 adalah Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970, lulusan terbaik), yang bersama Sintong Panjaitan sudah lama dikenal sebagai anak didik Benny Moerdani.
Secara jelas, biografi Sintong mendiskreditkan Prabowo melalui Luhut sebagai sumbernya.
Mudah ditebak, seolah-olah ada naskahnya, biografi ini diterbitkan sebagai upaya menggagalkan Prabov yang kini mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Kini Prabowo tinggal menunggu pelantikannya dan biografi Sintong juga sudah mulai terlupakan, padahal narasinya sendiri sudah “burn out” karena kedekatannya dengan Bung Karn sudah banyak berubah.
Ketika pada tahun 1983 pada bulan Maret Diangkat Panglima TNI, Masyarakat Masih Bertanya Siapa Benny? Wajar saja jika Benny sebagai tipikal perwira intelijen sejati kurang dikenal masyarakat. Benny sebenarnya sudah menjadi bintang berita sejak masih menjadi perwira muda.
Sekitar tahun 1963 pada bulan Juni Wajah Benny hampir terpampang di setiap surat kabar nasional saat Bung Karno menyematkan Bintang Sakti dalam upacara di halaman Istana Merdeka menyambut prajurit dan relawan yang baru pulang dari Operasi Trikora.
Wajah Benny yang mengenakan baret merah (masih dengan lencana gaya lama) masuk dalam ingatan masyarakat, tentunya dengan segala keterbatasan teknologi media, di zaman yang masih belum mengenal platform media digital.
Usai upacara militer besar-besaran di halaman Istana Merdeka, sosok Benny masuk dalam “radar” Bung Karn. Salah satu tanda kuatnya hubungan Bung Karn dan Benny adalah saat resepsi pernikahan mereka (1964) digelar di Istana Bogor. suatu keistimewaan yang langsung diberikan oleh Bung Karno, suatu keistimewaan bagi seorang perwira menengah seperti Benny.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2005, ada pejabat lain yang pernikahannya dilangsungkan di Istana Bogor. Diduga (dengan pangkatnya saat ini) Lettu Agus Harimurti Yudhoyono menikah dengan Auliija Pohan. Letjen Agus merupakan putra pertama Presiden SBY (2004-2014), sehingga tidak sulit mengadakan resepsi di Istana Bogor atau istana lainnya.
Dalam peta politik pasca Orde Baru, nama Benny Moerdani masih bergema di banyak muridnya, seperti Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970), Agum Gumelar (Akmil 1968), dan Hendro Priyono (Akmil 1967).
Ketiga nama tersebut hanyalah sebagian dari “anak didik” Benny Moerdani yang masih mewarnai kancah politik Indonesia saat ini. Jejak Benny masih terasa dalam peta politik saat ini, yang hampir tidak mengalami perubahan signifikan sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto, kecuali tahun-tahun tersebut. dua. . dekade setelah tahun 1998 reformasi.
Bayangan Benny juga terdapat pada tokoh Megawati Soekarnoputri. Saat masih berkuasa, salah satu cara Benny untuk menyeimbangkan (baca: melawan) Soeharto adalah dengan diam-diam membantu putri Bung Karno, Megawati.
Ini benar-benar perang simbolis yang awalnya tidak disadari oleh masyarakat. Benny sengaja mendukung karir politik Megawati karena Bung Karno Soeharto adalah mimpi buruk.
Sementara di sisi lain, Benny merasa berterima kasih kepada Sukarno. Singkatnya, tindakan Benny adalah pedang bermata dua dalam melawan Soeharto, membayar hutang budinya kepada Sukarno.
Manuver-manuver Benny sulit terbaca oleh masyarakat awam, salah satunya saat kampanye PDI sebelum 1987. pemilu yang penuh dengan kegembiraan.
Jika teknologi drone ada saat itu, kita akan melihat Jakarta menjadi “laut merah” dari atas.
Rasanya mustahil salah satu faksi elite politik tidak mendapat dukungan di pusat kekuasaan, baru nanti kita semua bisa mengetahui siapa orang-orang berkuasa di belakang Megawati dan PDI (belum bernama Perjuangan).
Momen terpenting terjadi pada tahun 1996. 27 Juli peristiwa yang membawa dampak positif bagi Megawati, karier politiknya tak terbendung. pada tahun 1996 27 Juli berkat peristiwa tersebut, Megawati dan elite PDIP lainnya mampu mencapai apa yang selalu diimpikan para politisi – kekuasaan dan stabilitas. Tak salah jika dikatakan bahwa meski Benny sudah lama tiada, namun ia selalu relevan karena jejaknya yang masih terlihat oleh mata hingga saat ini. Benny dan generasi penerus TNI
Dua dekade setelah kepergian Benny juga menjadi penanda merosotnya citra para tokoh TNI, tak terkecuali lahirnya generasi tokoh TNI sekaliber Benny saat ini. Minat generasi baru (khususnya Gen Z) untuk masuk Akademi Militer memang masih tinggi, namun lain soal menciptakan sosok sebesar Benny.
Tokoh-tokoh TNI sangat jarang dikutip media nasional, berbeda sekali dengan saat Benny masih aktif, apa pun yang disampaikannya selalu dimuat di media nasional, baik cetak maupun elektronik.
Fenomena menarik baru-baru ini terjadi, ketika salah satu surat kabar terkemuka tanah air tidak lagi memuat pemberitaan tentang pelantikan perwira muda Akademi TNI (termasuk Akademi Militer) dan hanya sebatas foto.
Meski peresmiannya dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi, dengan upacara militer di Istana Merdeka. Dulu, pelantikan perwira muda lulusan Akademi Militer dan akademi lainnya selalu mendapat tempat di halaman depan.
Melemahnya fokus media arus utama terhadap isu-isu militer, ditambah dengan ketidakpedulian masyarakat, justru memberikan ruang bagi elite TNI untuk melancarkan wacana “ajaib”, salah satunya adalah rencana penambahan 22 Kodamus (Komando Daerah Militer).
Peningkatan jumlah Kodam ini bisa dilihat sebagai tandingan dari konsep Benny saat masih menjabat Panglima Angkatan Darat (1983-1988).
Saat ramai dibicarakan penambahan 22 Kodam, elite TNI generasi baru seolah tak begitu peduli dengan pimpinan TNI masa lalu, salah satunya Jenderal Benny Moerdani. Jika Kodam memang ditambahkan, sama saja dengan menghilangkan konsep dan jejak Benny.
Benny bukan hanya Panglima ABRI tapi juga seorang pemikir atau pengembang konsep dan salah satu produknya adalah validasi organisasi dan satuan TNI AD dengan mengefektifkan jumlah Kodam di Indonesia dari sebelumnya 17 Kodam menjadi hanya sepuluh.
Di balik pemeriksaan komando teritorial, yaitu sistem efisiensi dan merit, tentu saja ada gagasan Benny yang mengatakan bahwa tidak mudah untuk naik pangkat dari kolonel (jabatan Dunrem) ke pangkat perwira tinggi (Briggen).
Mengapa semua ini bisa terjadi? Salah satu kemungkinannya adalah para pengikut Benny yang masih berperan di lingkaran kekuasaan tidak menghidupkan kembali pemikiran Benny. Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan, sebagai wakil Benny yang paling sukses di kancah kekuasaan, tampak lebih sibuk mempromosikan kerabat mereka ke posisi puncak TNI AD, namun lalai membangun jaringan baru.
Berbeda dengan Prabowo yang berperabot lengkap, Prabowo terus belajar dan bekerja dengan pejabat generasi berikutnya. Sehingga tidak ada kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan seperti yang terjadi pada murid-murid Benny.
Setidaknya hingga generasi 1990-an, jaringan Prabowo masih tetap hidup. Salah satu nama yang dapat disebutkan adalah Mayor Jenderal Rui Fernando Palmeiras Duarte (Akmil 1993), yang baru saja meraih prestasi gemilang di bidang akademik, baru saja mempertahankan tesisnya di Universitas Pertahanan.
Namun yang lebih penting, nama Rui nantinya siap mengisi posisi di kabinet Prabowo-Gibran, seperti menteri kabinet.
Begitu pula dengan generasi 80-an, beberapa nama bisa disebut Letjen. calon presiden, Prabowo). Seperti Rui Duarte, Lodewijk dan Musa Bangun juga ditunjuk untuk mengisi posisi di kabinet berikutnya.
Selain Lodewijk, Akmil menyertakan dua nama rekan seangkatannya yang sama-sama bergabung di Golkar: Andogo Wiradi (mantan wakil V KSP, Akmil 1981) dan Eko Wiratmoko (Akmil 1982). Lodewijk dan Eko Wiratmoko pernah bekerja di Danyonu Kopassus, sedangkan Prabowo bekerja di Danjenu Kopassus (1995-1998). Artinya, keduanya merupakan pejabat terpilih dan dekat secara pribadi dengan Prabowo karena jumlah posisi danyon di Kopass terbatas.
Sedangkan Andogo dan Musa Bangun merupakan penerus Prabowo sebagai Danyon Linud 328/Kujang II Kostrad, satuan legendaris yang mirip sekali dengan Prabowo. Sekadar mengingatkan, nama Prabow Wadanyon 328 dan belakangan Danyon adalah cara Benny menjauhkan Prabow dari Kopass.
Kehadiran Andog, Lodewijk, dan Eko Wiratmok di Golkar bisa bermanfaat mengungkap rumitnya hubungan Luhut (sebagai wakil Benny yang masih aktif di dunia politik) dan Prabow. Ketika Golkar punya tiga nama tersebut, narasi yang dibangun sejauh ini seolah-olah ada konflik laten antara Luhut dan Prabowo hanya sekedar cerita fiktif. Melalui tiga perwira kesayangan Prabow, terjadilah rekonsiliasi khayalan antara Prabow dan Benny Moerdani. Apalagi jika kita mengingat kisah masa lalu, saat Lodewijk nyaris menjadi menantu Benny Moerdani.
Aris Santoso sudah lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Dia sekarang bekerja paruh waktu sebagai editor buku.
*Penulis bertanggung jawab atas setiap artikel yang terbit di #DWNesia.
*Tulis pendapat Anda mengenai opini di atas pada kotak komentar media sosial. Terima kasih