TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dua puluh enam tahun lalu, peristiwa Mei 1998 menandai berakhirnya rezim baru.
Tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Banyak peristiwa penting yang terjadi khususnya pada bulan Mei 1998 yang meninggalkan luka emosional dan mendalam, salah satunya adalah tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.
Saat itu, rezim baru telah berkuasa selama 32 tahun, membuat masyarakat Indonesia lelah dan menuntut perubahan.
Selain itu, saat itu Indonesia juga mengalami krisis mata uang tahun 1997/1998 yang sangat berdampak pada perekonomian bangsa.
Saat itu korupsi, konspirasi, dan nepotisme (KKN) sedang marak.
Selain itu, penerapan kedua tindakan ABRI tersebut membatasi kebebasan warga sipil untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negara.
Dari sisi ekonomi, rupee melemah terhadap dolar AS.
Pemerintah saat itu juga melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997.
Orde Baru kemudian membentuk Badan Reformasi Perbankan Nasional (BPPN) yang membawahi 40 bank bermasalah lainnya.
Banyak perusahaan publik dan swasta tidak mampu membayar utang luar negerinya.
Beberapa situasi tersebut di atas menimbulkan protes dari berbagai lapisan masyarakat dan mahasiswa.
Namun tindakan tersebut mendapat reaksi negatif dari pemerintah saat itu sehingga memicu serangkaian peristiwa berdarah yang berujung pada reformasi 21 Mei 1998. Biografi
4 Mei 1998
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut baik kenaikan harga BBM (2 Mei 1998) dengan demonstrasi massal.
Demonstrasi berubah menjadi kekerasan setelah pengunjuk rasa bentrok dengan aparat keamanan.
Di Bandung, khususnya di Universitas Pasundan Bandung, 16 mahasiswa terluka dalam bentrokan tersebut.
5 Mei 1998
Mahasiswa melakukan demonstrasi massal. Kali ini Medan dan semuanya berakhir dengan kekerasan.
9 Mei 1998
Presiden Soeharto mengunjungi Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan G-15.
Tak ada yang menyangka, ini merupakan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei 1998
Dikutip dari Kompas.com Pada 12 Mei 1998, sekitar pukul 11.00 hingga 13.00, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi damai di kampus.
Kemudian para mahasiswa mulai menyusuri Jalan S Parman dan hendak menuju gedung MPR atau DPR.
Pukul 13.15, para mahasiswa sudah sampai di Balai Kota Jakarta.
Saat sekelompok mahasiswa melihat mereka di depan kantor, polisi menghentikan pergerakannya.
Setelah itu terjadi perundingan antara polisi dan mahasiswa. Disepakati bahwa para mahasiswa tidak boleh melanjutkan protes mereka terhadap Republik Rakyat Tiongkok atau Republik Rakyat Tiongkok.
15 menit kemudian, sekitar pukul 13.30, mahasiswa menggelar aksi damai di depan Balai Kota Jakarta.
Kondisi dan keadaan yang ada saat itu bisa dikatakan masih sangat sulit. Sama sekali tidak ada ketegangan antara pihak administrasi dan mahasiswa.
Pada pukul 16.30, polisi mulai membentuk barisan dan meminta mahasiswa menjaga jarak 15 meter dari barisan.
Polisi meminta para mahasiswa segera kembali ke kampus.
Tanpa ketegangan apapun, para siswa pulang dengan tenang dan terorganisir.
Namun, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari barisan siswa.
Mendengar suara tembakan, para siswa pun lari menyelamatkan diri.
Mahasiswa berusaha bersembunyi di dalam gedung universitas sementara pihak berwenang terus menembak.
Puluhan tabung gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
Sekitar pukul 17.15, situasi kampus mencekam.
Beberapa korban jiwa pun terjadi, salah satunya tewas ditembak oleh empat mahasiswa Trisakti.
Keempat mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Gary Hartanto, dan Handiwan Si.
13 Mei 1998
Masih dikutip dari Kompas.com, konferensi pers yang dihadiri Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafri Syamsoeddin digelar di Polda Metro Jaya pada 13 Mei 1998 pukul 01.30.
Selain itu, Kombes Pol Mayjen Hamami Nata, Rektor Universitas Trisakti Prof. Dokter. Hadir pula Moedanton Mortejo dan dua anggota Komnas HAM, AA Baramuli dan Bambang V. Suharto.
Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 10.00, mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Universitas Trisakti untuk mengungkapkan perasaannya.
Dua jam kemudian, pukul 12.00, terjadi kerusuhan massal di Jakarta.
Berbagai aksi perusakan dan pembakaran gedung dan kendaraan pun terjadi.
Kekerasan pertama kali terjadi di sekitar pusat Trisakti, namun aksi vandalisme dan pembakaran menyebar ke wilayah lain.
14 Mei 1998
Kerusuhan yang sebelumnya hanya terjadi di Jakarta, mulai meluas ke kota lain seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada 14 Mei 1998.
Orang-orang ini menyebabkan pembakaran, perusakan dan penjarahan toko-toko.
Kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi saat itu lumpuh total.
15 Mei 1998
Presiden Soeharto, yang mengetahui kerusuhan Mei 1998, pulang dari Kairo.
Saat itu beredar isu Presiden Soeharto ingin mundur.
Namun kabar tersebut langsung dibantah Menteri Penerangan Alvi Dahlan. Presiden Soeharto membantah ingin mundur.
Namun jika kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto hilang, maka Presiden Soeharto siap lengser dari jabatannya.
19 Mei 1998
Setelah terjadi kerusuhan di berbagai daerah, Presiden Soeharto memanggil sembilan orang Islam seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Malik Fajjar, dan KH Ali Yafieh.
Dalam pertemuan tersebut, ekstra tersebut menjelaskan situasi terkini. Mereka menemukan masih ada sebagian masyarakat dan mahasiswa yang menginginkan Soeharto lengser.
Soeharto menolak permintaan tersebut. Kemudian Soeharto berubah, saat itu ia tak mampu membungkam masyarakat.
21 Mei 1998
Istana Merdeka, Kamis, 09.05 Soeharto mengumumkan akan meninggalkan jabatan Presiden dan BJ. Habibi dilantik sebagai presiden ketiga Republik Indonesia.
Melansir Kompas, pada kerusuhan Mei 1998, data resmi menyebutkan 499 orang tewas.
Selain itu, lebih dari 4.000 bangunan juga hancur atau terbakar.
Kerugian fisik yang dialami pemerintah Indonesia sendiri mencapai 2,5 triliun rupiah.