11 Tahun Pasca-putusan MK 35, Masyarakat Adat Nilai Implementasinya Masih Jauh dari Harapan

Reporter Tribunnews.com Reza Deni melaporkan

TRIBUNNEWS. 41 Tahun 1999 tentang Hutan memberikan perubahan mendasar untuk menjamin masyarakat adat hidup dengan haknya atas hutan adat di wilayah adat.

Ada dua hal penting yang disebutkan dalam Pasal 35 Mahkamah Konstitusi, yaitu yang pertama: menegaskan masyarakat hukum adat sebagai pengklaim (pemegang hak) atas wilayah budayanya, dan yang kedua: Menyatakan bahwa hutan budaya adalah milik budaya. di wilayah mereka organisasi kebudayaan.

Menurut undang-undang resmi, masyarakat adat dianggap berhak dan diperbolehkan untuk mengontrol sumber daya pertanian di wilayah adat mereka. Selain kedua faktor tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan juga menekankan pentingnya membuat undang-undang khusus tentang masyarakat adat.

11 tahun setelah keputusan itu dikeluarkan, tidak banyak yang berubah. 

Sekretaris Jenderal Persatuan Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan, banyak keputusan setelah keputusan ini keluar, namun prosesnya sulit dan sulit.

Rukka sendiri mengatakan, “Peraturannya banyak, tapi rumit dan sulit. Dari awal banyak peraturan menteri (instruksi menteri) yang diterbitkan tanpa standar yang jelas, lalu peraturannya diubah.” workshop nasional bertema ’11 Tahun Ketetapan MK 35 dan Implementasi Hak Konstitusional Warga Negara di Indonesia’ di Rumah AMAN, Jakarta, pada Senin (13/5/204).

Rukka mengatakan, perubahan turunan tersebut membuat kelompoknya kesulitan menggambar sehingga berdampak pada rusaknya tradisi.

Hingga April 2024, AMAN mencatat terdapat 342 tender sah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat adat.

Menurut Badan Pendaftaran Kebudayaan atau BRWA, kurang dari 26,9 hektar situs budaya di seluruh pulau yang terdaftar di BRWA dan dari jumlah tersebut, hanya 14% yang telah memperoleh dokumentasi. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan hutan adat di 123 kabupaten dengan luas 221.648 ha. 

Di sisi lain, kebijakan hukum terkait masyarakat adat dalam 10 tahun terakhir justru semakin buruk.

Masuknya Perppu Cipta Kerja ke dalam UU Cipta Kerja, KUHP, Review UU IKN dan banyak UU di bidang pertanian dan sumber daya alam mempunyai unsur serius yang “menyangkal” keberadaan masyarakat hukum adat dan mereka. hak tradisional.

Menurut dia, agenda politik pemerintah terlalu kecil. 

Pemerintah terus membeberkan dasar hukum rezim penjarahan dan represif yang muncul dalam situasi sulit di berbagai tingkatan untuk membiarkan undang-undang menjadi ilegal, memisahkan proses pengakuan hak atas kawasan budaya dan pengakuan hak atas kawasan budaya. masyarakat adat. , meskipun organisasi budaya yang berkonflik menyetujuinya. 

“Berbagai permintaan perubahan yang terus disampaikan AMAN kepada LSM, termasuk melalui proyek pribumisasi dan perubahan kebijakan lainnya, seringkali tidak mendapat respon yang konkrit,” ujarnya.

“Kita berharap pemerintah, khususnya di era baru ini, menjadi salah satu prioritas kebijakan presiden untuk mengembalikan kawasan adat yang telah dicanangkan. Dan banyak kawasan yang dirusak oleh masyarakat sehingga jika kita membiarkan kawasan tersebut. rusak, kita dapat memulihkannya”.

Sementara itu, Guru Besar UGM Yance Arizona sekaligus menyampaikan, pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35, Mahkamah ingin membedakan antara hutan adat dan hutan kota, karena adanya kedaulatan masyarakat adat atas hutan adat yang diakui.

Namun dengan cara ini pemerintah belum sepenuhnya melepas masyarakat adat karena masih ada kendali pemerintah. Misalnya dalam kasus pembatasan yang tidak bisa dijual, ada tingkatan dimana mereka membutuhkannya sebagai sumber daya, mereka tidak bisa merubah fungsinya walaupun dilihat-lihat, masyarakat masih punya cara tersendiri untuk mengetahui fungsinya. di daerah mereka. 

“Bisa jadi masalahnya ada pada pekerjaan pemerintah, misalnya sudah menjadi lahan pertanian lokal, pemerintah menyebutnya hutan konservasi, kalau sudah menjadi hutan adat tidak boleh ada alih fungsi. dari awal.” dimana konservasi merupakan cara pemerintah dalam mengelola kawasan tersebut.

Tentu saja proses lainnya lebih rumit karena lebih terlembaga dan melibatkan politik lokal, tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *